Diduga Ada Mark-up Besar-besaran Pada Pengadaan Meubelair Untuk Desa, CBA Desak KPK Panggil dan Periksa Kadis DPMD Kabupaten Bogor

0
IMG20241211093723
Spread the love
image_pdfimage_print

BOGOR, (TB) – Pengadaan Belanja Barang dan Jasa berupa meubelair untuk Desa se-Kabupaten Bogor pada Satuan Kerja (Satker) Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Bogor di penghujung Tahun Anggaran 2024 senilai Rp.33 Miliar lebih diduga sarat dengan praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Berdasarkan hasil investigasi dilapangan hingga ke penyedia jasa, tim media ini menemukan beberapa kejanggalan. Diduga kuat ada indikasi mark-up besar-besaran pada harga barang furniture (Meubelair) yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah. Patut diduga pula, anggaran pengadaan meubelair Desa itu jadi ajang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) berjamaah oleh oknum-oknum pejabat dengan pihak penyedia jasa.

Dari 10 item barang meubelair yang dibeli dari penyedia jasa PT KMS tersebut, ditemukan beberapa item dengan type dan merek yang sama tapi harganya berbeda dengan selisih harga yang mencapai jutaan rupiah per itemnya.

Baca juga:DPMD Gelontorkan Rp33 Miliar Belanja Mebeler Untuk Desa. Kades Bantah Keterangan Sekdis

Seperti diberitakan sebelumnya bahwa anggaran senilai Rp.33 miliar lebih untuk belanja pengadaan barang dan jasa melalui e-Katalog dengan penyedia jasa PT Karya Mitra Seraya itu sempat menjadi sorotan dikarenakan ada Ketidaksesuaian keterangan atau informasi yang disampaikan pihak DPMD Kabupaten Bogor dalam hal ini Dede Armansyah selaku Sekretaris Dinas DPMD dengan keterangan dan pengakuan beberapa Kepala Desa yang menerima bantuan meubelair tersebut.

Dalam keterangannya Dede mengaku bahwa pengadaan meubelair itu berdasarkan permohonan dari desa-desa.

“Semua berdasarkan pengajuan desa. Semua desa mengajukan proposal kok, hanya waktunya saja yang berbeda-beda, kalau tidak salah pengajuan mereka itu masuk diantara bulan Juni-Juli 2024,” ucap Sekretaris Dinas DPMD Dede Armansyah, saat dikonfirmasi, Rabu 11 Desember 2024 lalu di kantornya.

Baca juga:CBA: Ketidaksesuaian Klaim DPMD dan Kepala Desa Terkait Bantuan Mebeler Rp33 Miliar Menunjukan Kurangnya Transparansi

Namun anehnya, pengakuan dan keterangan Dede tersebut bertolak belakang dengan pengakuan beberapa Kepala Desa (Kades) penerima manfaat bantuan meubelair tersebut.

Salah satu Kades mengaku cukup kaget tiba-tiba dikirimi bantuan mebeler itu. Tapi karena itu adalah pemberian, ya pihak desa tentu menerima saja.

” Jujur saja, kami sempat kaget juga, ujug-ujug dapat kiriman sejumlah meubelair. Tapi karena ini di kasih ya kita terima aja,” ungkap salah satu Kades di Kecamatan Citeureup yang minta namanya tidak di publikasikan.

Gambar: Sofa 1 Seater dan 2 Seater Barcelona. Salah satu Item bantuan Meubelair untuk Desa dari DPMD Kabupaten Bogor (Photo/Doktb)

Menanggapi dugaan tersebut, Koordinator Center of Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman mendorong Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera merespon informasi ini.

” Kami mendesak Kejari Kabupaten Bogor atau KPK segera turun usut dugaan ini. Panggil dan periksa Kepala Dinas DPMD dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) nya,” tegas Jajang melalui pesan tertulisnya, Selasa 07 Januari 2025.

Sealin itu Jajang juga menyebut bahwa ketidaksesuaian klaim antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) dan Kepala Desa terkait pengajuan proposal bantuan meubelair menunjukkan kurangnya transparansi dalam pengelolaan program ini.

Dalam kebijakan publik, keterbukaan informasi adalah hal mendasar untuk memastikan kepercayaan masyarakat, tetapi kasus ini justru menimbulkan pertanyaan.

Selain itu, pengadaan yang dilakukan tanpa verifikasi kebutuhan nyata dari desa berpotensi dianggap sebagai pemborosan anggaran, mengingat besarnya alokasi anggarannya mencapai Rp33 miliar lebih.

” Perencanaan anggaran program ini juga patut dipertanyakan. Pengajuan proposal oleh desa sebelum pagu anggaran disahkan menimbulkan keraguan terhadap validitas prosesnya,” terang Koordinator Center of Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman.

Hal ini menurut Jajang mencerminkan lemahnya sinkronisasi dalam siklus perencanaan anggaran, yang seharusnya dilakukan berdasarkan kebutuhan prioritas dan melalui mekanisme teknokratik yang jelas. Pengadaan barang yang tidak benar-benar diajukan oleh desa justru membuka ruang untuk maladministrasi atau penggunaan anggaran yang kurang efektif.

Selain itu, kebutuhan desa yang lebih mendesak seperti infrastruktur dasar atau layanan masyarakat mungkin terabaikan akibat alokasi anggaran yang kurang efisien.

” Diperlukan audit independen untuk menilai transparansi pengadaan dan memastikan bahwa program ini dilaksanakan sesuai aturan. Pemerintah daerah juga harus memperbaiki mekanisme perencanaan dengan melibatkan masyarakat desa secara langsung dan terdokumentasi,” tutur Jajang. (Sto)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *