Wartawan Dilarang Merangkap Menjadi LSM
JAKARTA , (TB) – Wakil ketua Dewan Pers, Hendri Chairudin Bangun menegaskan, seorang wartawan harus melepas statusnya sebagai wartawan jika ingin menjadi anggota ormas ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal tersebut dikemukakan Hendri kepada MITRA News di Jakarta, belum lama ini.
“Dijelaskannya bahwa seorang wartawan bukan tidak boleh menjadi anggota LSM, namun seorang wartawan harus melepaskan statusnya sebagai wartawan jika ingin menjadi anggota Ormas ataupun LSM, apalagi sampai memberikan statemen di sebuah media.
“Banyak contoh yang seperti itu, dia (oknum wartawan) menulis berita, di dalamnya dirinya juga sebagai narasumber. Inilah yang menyalahi kode etik jurnalistik,” jelas ketua Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat Periode tahun 2019 sampai dengan 2024 itu.
“Tak segan-segan, Hendri membuka pintu lebar kepada pihak mana saja yang merasa dirugikan untuk melaporkan.
“Laporkan ke Dewan Pers, kita ada laporan online melalui website Dewan Pers, tunjukkan buktinya dan kita akan meminta kepada perusahaan media penerbit tersebut untuk memberhentikan wartawan tersebut. Karena ini sudah menyalahi kode etik sebagai jurnalis yang bersifat independen,……..”!
“Terpisah, Ketua Komisi Penelitian dan Ratifikasi Dewan Pers Ahmad Djauhari menjelaskan jika pekerja pers mempunyai rangkap jabatan atau pekerjaan sampingan, maka di sini akan muncul tiga pendapat. Pertama, tidak boleh karena akan menimbulkan konflik kepentingan yang berujung menabrak UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Ini yang sangat dianjurkan oleh Dewan Pers.
“Kedua, tidak dianjurkan karena rentan menyalahgunakan profesinya untuk melakukan pemerasan, untuk menyudutkan orang yang ujung-ujungnya kepentingan ekonomi semata.
“Ketiga, ini jalan tengah tidak masalah sepanjang hanya mengenai jabatan non wartawan seperti pemimpin perusahaan.
“Dewan Pers menyadari bahwa kebebasan pers yang tak terkendali dan tak terkontrol pada akhirnya hanya akan merusak tatanan kehidupan ideal yang dicita-citakan.
“Yang patut diwaspadai adalah penumpang gelap dalam gerbong kereta reformasi yang melaju kencang membawa pilar ke empat demokrasi nasional. Maklum namanya juga penumpang gelap mereka tidak memiliki ‘tiket’ resmi tapi ingin diperlakukan sama seperti halnya penumpang resmi yang nyata-nyata telah memiliki ‘tiket’ resmi,” kata Ahmad Djauhari saat dihubungi via telepon selularnya.
“Ironisnya lagi, hal itu dibiarkan sehingga kemudian mereka merajalela tumbuh dan menebar teror. Mereka merangkap peran ganda, sebagai wartawan sekaligus LSM, bergabung masuk ke sekolah-sekolah/madrasah dan institusi lainnya untuk mencari-cari ‘peluang’ dan ‘mangsa’.
“Negara kita adalah negara hukum. Karenanya, segala urusan harus dikembalikan kepada hukum/peraturan yang ada,” jelasnya.
“Adapun menyangkut kewartawanan, ada aturan main yang mengaturnya, diantaranya Kode Etik Jurnalistik dan Surat keputusan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan dan peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan.
“Menyangkut kelembagaan pers, ada peraturan yang secara khusus mengaturnya, yaitu Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers dan Peraturan Dewan pers Nomor 04/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers, serta undang-undang atau peraturan lain yang menyertainya, seperti undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang perpajakan dll.
“Sayangnya semua peraturan tersebut dalam prakteknya belum sepenuhnya dijalankan oleh semua pengelola media. Banyak media yang tidak memenuhi apa yang tertuang dalam Undang-Undang Pers maupun peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers. Sehingga, tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa Dewan Pers ibarat macan ompong. Aturan yang ditetapkan Dewan Pers tidak memiliki kekuatan yang sifatnya memaksa dan berdampak hukum saat banyak pihak mengabaikan peraturan tersebut. Kemudian MoU antara Dewan Pers dengan POLRI juga menambah ketidaktegasan sanksi hukum terhadap pelanggaran yang seringkali dilakukan oknum wartawan,” tandasnya”. (**)